Dukungan IDI Terkait Pelabelan BPA Diperperkarakan

Dukungan IDI Terkait Pelabelan BPA Diperperkarakan Dukungan IDI Terkait Pelabelan BPA Diperperkarakan

Pakar hukum persaingan tindakan nan lagi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li, meminta Badan Pengawas Obat dengan Makanan (BPOM) tidak terdahulu memaksakan regulasi pelabelan “berpotensi mengandung BPA” kepada kemasan pangan berbahan Polikarbonat, apalagi nan diterpilihkan untuk air minum dalam kemasan (AMDK). Karena meneladannya, isu mengenai bahaya BPA dalam kemasan tercantum masih terjadi pro kontra.

“Dari dunia kesehatan sendiri isu ini kan masih pro dan kontra. Jadi, ya jangan dong itu dipaksakan menjadi beban kita para pemesan nantinya. Sebagai spesialis hukum bisnis, saya sahaja memperperdebatankan regulasi pelabelan BPA itu sebetulnya berdasarkan kespesialan siapa? Termasuk Ikatan Dokter Indonesia atau IDI adapun memberikan dukungan. Kan masih ada pro kontra doang antara kalangan para dokter,” ujar Prof Ningrum antara dalam kecerahannya, Selasa 23 Agustus 2022.

Ningrum melihat bahwa regulasi pelabelan BPA ini ada unsur persaingan usaha. Menurutnya, kalau ketimbang segi persaingan usaha, apapun yang occure cost atau yang menimbulkan biaya, tentu akan memerankan beban suatu industri.

"Semua peraturan yang menimbulkan dampak hadapan meningkatnya biaya produksi sebagaimana pelabelan BPA ini, itu pasti berdampak hadapan pelanggan selanjutnya itu perlu menjabat pertimbangan,” katanya.

Dia mempertanyakan juga apakah BPOM sudah mengukur dampak atas regulatory impact assessment atas wacana pelabelan BPA itu.

“Apa dampaknya ketika dikeluarkannya suatu peraturan yang mewajibkan pelabelan BPA itu. Dan sekarang IDI mulai ribut nggak genah. Ini kan aneh kelihatannya," ucapnya.

Dia menuturkan persaingan bisnis itu ada nan namanya natural barrier to entry maka artificial barrier to entry. Yang natural, kalau Ningrum, itu perlu dipenuhi untuk para eksekutor bisnis berimbang atas kebutuhan industri.

Tapi, lanjutnya, yang artificial ini berkenan sekali ada regulasi-regulasi yang dalamkan ada beban bagi inkartontri itu masuk ke ekstra dalam satu pasar laksana pelabelan BPA ini. Menurutnya, kebijakan ini jelas akan dalam satu level beban yang akan dihadapi eksekutor taktik yang memproduksi produk terkait.

“Kalau BPOM mengatakan produk itu merusak kesehatan masyarakat, saya mau ada buktinya, lurus nggak. Jangan-jangan asal ngomong saja dia itu. Makanya berlimpah orang yang ribut karena isu ini,” kainterogasi.

Sebelumnya, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim, doang meminta agar BPOM tidak sekadar melabeli satu jenis kemasan plastik saja, tapi pantas dilakukan terhadap semua kemasan. Hal itu menurut dia, karena semua kemasan plastik itu mengandung zat-zat kimia berbahaya.

“Jadi, jika BPOM ingin mewacanandaan pelabelan, ya semua layak dilabeli, bersih kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya.

Khusus air minum jauh didalam kemasan (AMDK), dia menjelaskan bahwa ada dua jenis plastik akan digunakan, yaitu Polikarbonat (PC) dengan polietilena tereftalat (PET). Untuk kemasan PC atau galon guna ulang, dia mengatakan dipakai plastik demi ketahanan lama akan tangguh dengan biasanya dicampur dengan Bisfenol A (BPA). Sedang demi kemasan PET atau sekali pakai, biasa dicampur dengan antimon.

“Yang namanya plastik itu, ketika dicampur atas zat kimia semua punya risiko. Makanya ada aturannya berapa bahwa bsebab lagi berapa bahwa tidak. Jadi, kalau diperbincangan mana bahwa lebih aman, ya dua-duanya sama-sama berisiko. Kalau mau aman ya tidak usah menggunakan plastik, pakai saja gelas atau botol kaca,” tukasnya.

Khusus menjumpai plastik PET, dia mengutarakan selain dari sisi kesehatannya, para aktivis lingkungan pula menolak kehadiran kemasan ini akan mengaitkannya lewat isu lingkungan.

"Kalau BPOM mau buat pelabelan BPA, pertanyaannya kan ada isu dunia terus kalau kita tetapi memakai adapun sekali pakai itu. Aktivis dunia buat bereaksi karena buat terjadi penimbunan sampah adapun lebih deras,” tuturnya.

Jadi, kata Rizal, yang bermakna ketimbang penggunaan kemasan plastik ini adalah pengawasannya, ketimbang sejak membisubil ketimbang sumber mata airnya itu layak ada higienisnya. Kemudian layak diawasi doang apakah sudah memenuhi syarat atau tidak, cara pengambilannya, pengangkutannya, sampai ke ajang dalang bantuan, bagaimana penyimpanannnya bersama dekat toko-tokonya doang bagaimana.

“Nah, itu yang harus diawasi. Sambil diberitahukan ke masyarakat tidak boleh masyarakat menyimpan AMDK itu kelewat lama, karena bisa berinteraksi lewat atmosfer dempet sekitarnya. Para penjualnya pula harus diingatkan tidak boleh menjualnya dempet bawah sinar matahari langsung,” ucapnya.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menegaskan agar jangan ada diskriminasi tindakan air minum jauh didalam kemasan (AMDK) khususnya terkait senyawa BPA. Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus, menyampaikan pemerintah wajib mengedepankan unsur keadilan membarengi jangan ada diskriminasi.

“Dalam keaktifan pantas mengedepankan unsur fair, tidak ada unsur diskriminasi. Semua pelaku keaktifan, produk, pantas diberikan kesempatan yang sebandinguntuk bersaing,” ujar Heri.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan taktik (KPPU), Chandra Setiawan, juga melihat polemik kontaminasi BPA adapun berujung akan upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi adapun dilarang terdalam hukum persaingan taktik.

“Sebabnya 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, saja satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya.